Friday, March 6, 2009

Bicara Iklan Lewat Mural

Berbagai alasan muncul ketika para pengiklan mulai mencari alternatif untuk mempublikasikan produk/jasanya, salah satunya: mahalnya harga yang harus dibayar untuk beriklan dan terlalu banyak pengiklan yang menggunakan channel yang sama – conventional advertising channel – seperti televisi, radio, majalah, koran, billboard. Sekitar dua puluh tahun lalu, hanya terdapat tiga iklan komersial yang dapat dijangkau oleh 80% populasi warga di Amerika. Apakah bisa dibayangkan bagaimana bila itu di Indonesia dan pada masa kini?

Efektif! Mungkin itu bisa menjadi kata kunci yang tepat untuk menjawab alasan-alasan pencarian alternatif ruang beriklan yang baru. Kemudian muncul pertanyaan, “Bagaimana cara yang tepat untuk membuat media beriklan yang murah, efektif, dan menarik perhatian, sehingga dapat meraih awareness dari publik?”

Menurut Tom Himpe (2006), periklanan hari ini berkembang menjadi seperti fastfood: “lurus”, tanpa variasi, dan memiliki faktor ‘wow’ dari cara memasak yang tepat. Komunikasi hari ini membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekedar percobaan dari penyatuan masakan dan memperkecil prediksi pra-pembungkusan makanan siap saji.

Pemanfaatan ruang publik bisa menjadi jawaban yang tepat untuk saat ini. Suatu brand menjadi lebih dekat dengan konsumennya melalui ruang publik. Selain itu, dengan memanfaatkan ruang publik dapat menekan budget.

Mural dan Beriklan

Mural merupakan lukisan besar dalam dinding yang dipandang sebagai medium untuk memperindah ruangan. Mural juga berarti lukisan yang dibuat langsung maupun tidak langsung pada permukaan dinding suatu bangunan, yang tidak langsung memiliki kesamaan dengan lukisan. Perbedaannya terletak pada persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh lukisan dinding, yaitu keterkaitannya dengan arsitektur/bangunan, baik dari segi desain (memenuhi unsur estetika), maupun usia serta perawatan dan juga dari segi pengamatannya (Susanto dalam Wicandra, 2005: 127).

Di Negara-negara konflik, mural sangat mudah ditemukan. Irlandia Utara, misalnya, terdapat lebih dari dua ribu mural yang dihasilkan sejak tahun 1970. Biasanya, propaganda politik menjadi isu hangat dalam mural-mural tersebut.

Mural merupakan seni publik yang melibatkan komunikasi dua arah. Dalam hubungannya dengan ruang publik kota, mural menjadi salah satu medium untuk merekatkan hubungan-hubungan sosial antar masyarakat. Seniman mural melakukan komunikasi secara visual kepada masyarakat terhadap apa yang ingin dicurahkannya, masyarakat sebagai penikmat, dalam praktiknya mampu berinteraksi langsung kepada seniman (2005: 128). Dibalik itu semua, mural menyimpan kepentingan dan makna yang ingin disampaikan, mulai dari sekedar kepentingan estetika hingga isu lingungan, sosial, budaya, politik, dan ekonomi.

Mural mampu menyentuh langsung masyarakat, selanjutnya menjalin hubungan dekat dengan mereka. Apabila berbicara kembali tentang media alternatif untuk beriklan, mural menjadi jawaban yang tepat. Suatu brand dapat lebih dekat dan menjalin hubungan secara personal dengan konsumennya, tanpa melibatkan medium lain diantaranya (missal: media massa,dsb).

Selain itu, media alternatef seperti ini mampu memberikan eksklusivitas, dimana sebuah brand dapat ‘unjuk gigi’ tanpa ada competitor. Mengutip Tom Himpe (2006: 13):

“Brands are continuesly on the lookout for places, moments and media where they can enjoy people’s devoted and undivided attention”

Menurut Himpe, Eksklusivitas merupakan kekuatan.

“The less you have to share the attention of consumers with fellow advertisers, the more power you can exert over consumers” (Mark Austin dan Jim Aitchinson dalam Tom Himpe).

Melalui mural, suatu brand, secara tidak langsung, mengajak audiens ke dalam metode komunikasi yang tidak mudah ditebak.

No comments: