Thursday, August 25, 2011

Kontemplasi

Kurajut kembali masa lalu
Menghampar di atas permadani yang terobek, terkoyak, terhujam
Aku tak kuasa
Ingin menjalin kembali hingga utuh
Cantik tak bernoda

Setiap tetes air mata
Setiap bisik di batinku
Setiap galau di dalam diri
Menjadi usaha untuk menjalin kembali permadani yang sudah rusak

Masih tidak bisa kumengembalikannya
Hingga kilasan-kilasan itu terulang dalam benak
Riuh penonton bersahutan saling menyoraki kilasan-kilasan itu

Tidaaaaaaaaaaaaaakkk!!!
Aku lelah!
Aku lelah!
Sudah berulang kali kukatakan, aku lelah!
Biarkan aku sendiri saja
Hening
Aku ingin terlelap sejenak di atas hamparan permadaniku
Dan kunikmati semua apa adanya

Hingga suatu hari kilasan itu berlalu
Menghilang tak berjejak
Hanya tersisa aku dan permadani
Kutahu itu

Menjajal Progo yang Penuh Adrenalin

Arung jeram. Huah, denger namanya aja bisa bikin bergidig. Pikiran ngebayangin yang enggak-enggak aja. Gimana kalo gini, gimana kalo gitu... Di sisi lain, ngiler juga sih ngerasain rasanya ngebelah jeram-jeram sungai, yang sepertinya asyik. Tapi apa daya, kesempatan belum datang. Entah masalah budgetlah, entah ga ada waktu yang paslah, ah pokoknya seribu alasan biar ga turun sungai deh (sebenarnya alasan nomor satu adalah ngumpulin nyali). Berhubung saya berteman akrab dengan anak-anak Mapala, sering nongkrong bareng mereka pula, saya jadi tengsin sendiri karena belum pernah ngerasain rasanya turun ke sungai. Hehe...

Akhirnya datang juga tuh tawaran untuk mencicipi jeram dari Shidiq, teman saya sekaligus pemilik sebuah operator Arung Jeram. Gratis pula. Horeee!!! Berangkat!

Minggu pagi yang cerah di bulan Maret tahun 2010, berangkat dari rumah kontrakan menjemput Ade, barengan saya, terlebih dahulu. Ini adalah pertama kalinya saya turun ke sungai. Dag-dig-dug rasanya. Keringat dingin bercucuran dimana-mana, seperti hujan di bulan Januari.

***

Nah trip ngarung pertama kali saya (yang gratisan ini) di Sungai Progo bagian bawah. For your information, Sungai Progo sisi bawah, sebelum erupsi Merapi 2010 lalu, terkenal dengan jeramnya yang maha yahud. Tingkat kesulitan jeramnya bervariasi, antara grade 3 hingga 5. Pada kondisi tertentu, bahkan, grade sungai Progo bisa naik hingga angka 6. Karakter sungai yang satu ini sedikit susah ditebak. Di satu waktu bisa tidak bisa diarungi karena debit air terlampau sedikit, di waktu yang lain bisa menjadi sangat seru untuk diarungi, bahkan bisa-bisa tidak bisa diarungi sama sekali karena terlalu berbahaya. Sebuah kejuaraan rafting kelas dunia pun, Australasian Rafting Champs, pernah digelar disini. Menggiurkan untuk dicicipi, bukan?

Ya, karena ini mumpung gratisan, saya mencoba memberanikan diri. Meskipun tiap kali melihat jeramnya dari tepian sungai, jantung saya dag-dig-dug-serrr, hati saya seperti diaduk-aduk untuk adonan kue, ludah saya mengalir deras sampai perlu ditelan berkali-kali, kepala saya tidak berhenti bergidig, dan pikiran saya tidak berhenti-henti untuk berdebat. Tapi dasar saya pencinta produk gratisan, saya beranikan diri deh. Hayuk mang, tancap! Resiko? Tanggung sendiri! Gratisan sih. (Kalau berbayar, biasanya sudah diasuransikan)

***

Saya dapat giliran ‘turun’ setelah makan siang, sekitar pukul 2-3an. Tim saya ‘diturunkan’ di dermaga Ancol (bukan Ancol, Jakarta), yang masuk wilayah Wates (DIY). Satu perahu berisi 6 orang dan 1 orang Skipper. Skipper memiliki tugas ganda, sebagai pemimpin yang memberi instruksi pada anggotanya dan juga bertugas untuk mengarahkan perahu. Enam orang sisanya bertugas untuk mendayung. Teman seperahu saya anak Mapala semua, kecuali saya. Sedikit lega sih, setidaknya banyak jagoannya. Hehe...

Seperti dugaan saya, belum sampai 5 menit, petualangan saya dimulai. Jeram pertama dan beberapa jeram selanjutnya mulai menerjang saya berturut-turut tanpa ampun. Huaaa... rasanya jantung mau copot. Perahu terseok ke kanan dan kiri, seperti mau terbalik. Hampir saja saya melepas dayung dan memilih pegangan tali-tali perahu (chicken line) sambil teriak-teriak tidak karuan. Kontan saja, Ade, kawan akrab saya yang juga anak Mapala, menertawakan kelakuan saya. Yah ketahuan deh, berjam-jam berlagak pemberani, eeehhh, tidak lama nyebur sudah rontok deh semua keberanian saya.

Tidak lama, teriakan takut berganti menjadi sorak sorai ego saya. Hahay... Bisa menikmati juga akhirnya. Jeram progo memang uhuiii, air berwarna kecoklatan mengalir dengan derasnya. Bulir-bulir riak terlihat jelas diantara dayungan saya dan gelombang sungai. Benar-benar harus saya akui rangkaian standing wave di awal pengarungan yang membuat saya kalap tidak karuan memang harus diacungi jempol. Tapi bukan berarti jeram-jeram selanjutnya tidak yahud lho!

Ketika kontur sungai flat, saya melompat dari perahu, nyemplung ke sungai. Wuaaaaaaa... pemandangannya cantik! Saat itu matahari mulai beranjak tenggelam, mata saya disuguhi pemandangan perbukitan Menoreh yang serasa memeluk saya sambil berenang menyusuri sungai Progo. Romantis sekali! Tetapi sesaat kemudian, saya tersadar, dan bersegera melihat dari arah mana matahari tenggelam. Saya mencoba menoleh, melihat sisi yang lain. Lho! Kok di sisi yang berberda saya melihat matahari yang tenggelam juga. Kembali melihat arah yang awal, saya melihat juga matahari itu tenggelam. Saya mencoba mengucek mata sambil tidak percaya. Segera saya memutar arah renang saya, dan saya memang melihat matahari itu tenggelam dari sisi yang berbeda-beda. Yah, kalau gitu saya tidak tahu mana yang harus saya percaya: mata saya atau itu sekedar halusinasi saya. Bagaimana menurut anda?

# For your information: Pasca erupsi Merapi di akhir tahun 2010, sungai Progo sisi bawah terkena dampak banjir lahar dingin. Semenjak itu, kontur sungai berubah, banyak lahan pertanian di tepi sungai yang hilang tergerus banjir, posisi bebatuan dan jeram pun ikut berubah. Sungai Progo sisi bawah kini didominasi pasir bawaan banjir lahar dingin.